Selasa, 04 Januari 2011

KAJIAN KRITIS Terhadap UU NO. 31 / 1997 Tentang PERADILAN MILITER

Reformasi politik dan ketatanegaraan serta reformasi sektor keamanan menuntut
adanya perubahan di dalam sistem hukum militer, khususnya sistem peradilan militer.
Selain itu sistem peradilan militer dituntut untuk menyesuaikan dengan perubahan
perubahan lingkungan strategis yang mencakup norma-norma internasional tentang
hukum humaniter, perkembangan teknologi, sifat dan bentuk ancaman, serta sifat
perang.

Dasar pemikiran:
1. Tap No. VI/MPR/2000 dan Tap No. VII/MPR/2000 tentang pemisahan TNI-POLRI,
serta lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Republik Indonesia, mengharuskan penataan kembali ketentuan tentang hukum
pidana dan hukum acara pidana untuk prajurit militer dan polisi1.
2. Tap No. VI/MPR/2000 dan Tap No. VII/MPR/2000 mengatur kewenangan
mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI menjadi
kewenangan peradilan umum. Hal ini berarti ada keharusan untuk melakukan
perubahan pada ketentuan UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer dan UU No.
8/1981 tentang KUHAP khususnya bab koneksitas (pasal 89).
3. Sistem peradilan militer masih tidak berdasar pada pola kekuasaan kehakiman
yang berbasis pada supremasi sipil. Ada keharusan untuk melakukan perubahan
pada peradilan militer agar dalam penerapannya tunduk pada otoritas peradilan
sipil, baik di tingkat pertama dan/atau di tingkat kasasi (civil review).
4. Definisi tindak pidana militer bersifat arbitrer, yaitu disandarkan pada status militer
dan ditentukan secara sepihak oleh militer. Dalam hal ini perluasan subyek
peradilan militer, yang dapat mencakup atau memasukkan sipil (civilians) dalam
yurisdiksi peradilan militer, harus ditinjau kembali.
5. Model administrasi peradilan militer yang eksklusif, baik dalam peradilan pidana
militer maupun peradilan tata usaha militer.
6. Mekanisme hukum pidana militer saat ini belum mengadopsi perkembangan-
perkembangan baru di bidang kemiliteran, misalnya jenis dan sifat perang, hukum
perang, teknologi dan cara perang.

7. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional
telah diadopsi ke dalam hukum nasional melalui UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Kewenangan mengadili berada pada Pengadilan HAM yang
bersifat permanen yang berdiri secara terpisah dengan pengadilan pidana umum.
Hal ini menimbulkan ketidakjelasan kewenangan peradilan pidana dan penerapan
hukum materiil.
8. Militer tunduk terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan
UU ini, militer bisa diadili dengan pengadilan non-militer. Hal ini menuntut adanya
perubahan aturan dalam yurisdiksi peradilan militer.
9. Hak asasi manusia (HAM) harus dijamin dan dilindungi oleh hukum. Karena itu
hukum tidak boleh digunakan untuk menghalangi perlindungan HAM, misalnya
impunity (crime without punishment is crime itself).

Mengacu pada dasar pemikiran di atas, maka UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer dan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981 tentang Koneksitas) memiliki kelemahan
dalam:

ASPEK HUKUM :
1. Menghalangi kewenangan peradilan umum untuk melakukan pemeriksaan
terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.
2. Sistem peradilan pidana militer (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pengadilan) membedakan tingkat kewenangan peradilan berdasarkan
kepangkatan. Hal ini mengakibatkan tingkat pertanggungjawaban lebih besar
dibebankan kepada bawahan (individu) dan secara prinsipil merupakan obstruction
of justice.
3. Merancukan sistem peradilan pidana militer dan sistem peradilan tata usaha
militer.
4. Pertanggungjawaban individual terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan
oleh prajurit TNI direduksi ke dalam keputusan administrasi pejabat (Papera) atau
pejabat administrasi militer mengambil alih fungsi peradilan (Ankum).
5. keadilan dalam militer tidak dapat ditegakkan karena tidak terdapat prinsip habeas
corpus.
6. kekosongan hukum dalam sistem penegakkan hukum pidana terhadap polisi dan
militer.

ASPEK POLITIK
1. Tidak ada kemandirian peradilan militer karena berada di bawah komando
panglima. Hal ini merasuk dalam sistem kekuasaan kehakiman misalnya dalam
pengangkatan hakim agung militer maupun ketua MA dari militer.



3




2. Otonomi institusi dan proses peradilan militer yang jauh dari kontrol sipil selama ini
telah menyumbangkan superioritas dan dominasi militer dalam semua bidang.
Konsekuensi dari dominasi ini adalah adanya impunity .
3. Adanya problem manajemen transisional yang menyebabkan mekanisme
pertanggungjawaban tindakan pidana sepenuhnya menjadi kewenangan masing
masing institusi yaitu TNI sendiri dan POLRI sendiri. Akibatnya tidak ada
mekanisme kontrol saat ini terhadap penggunaan aparat TNI dan Kepolisian,
khususnya di daerah konflik.

ASPEK PROFESIONALISME MILITER
1. TNI banyak disibukan dengan administrasi dan proses birokrasi hukum yang
menyerap banyak sumber daya. Akibatnya sumber daya dan konsentrasi yang
harus dimanfaatkan untuk fungsi militer (pertahanan) menjadi terabaikan.
2. Kelemahan pembangunan hukum militer mengakibatkan tentara lemah dalam
melakukan pengukuran operasi (penggunaan prinsip proporsionalitas dan
pembedaan sasaran).
3. Ketiadaan aturan main terhadap keterlibatan sipil (Presiden dan DPR) dalam
pemilihan dan penyediaan peralatan militer.
4. Kelemahan keterlibatan sipil dalam mengontrol penggunaan dan pelibatan militer.

ASPEK SRATEGIC ENVIRONMENT
1. Eksternal:
a. Norma internasional mengenai hukum humaniter.
b. Munculnya ancaman dan kejahatan baru yang bersifat transnasional.
c. Munculnya teknologi baru di bidang Command Control Communications
Intelligence (C3I)2. Kelemahan dalam mengadopsi perkembangan teknologi
ini akan menyulitkan proses pertanggungjawaban dalam tindak pidana militer.
2. Internal:
a. Adanya pemisahan institusi dan fungsi TNI-POLRI.
b. munculnya konflik-konflik internal yang memiliki 2 sifat; (1) konflik pemisahan
wilayah; dan (2) konflik komunal yang masih akan berlangsung lama.
c. Reformasi sektor pertahanan dan keamanan negara masih memerlukan
beberapa peraturan diantaranya mengenai komponen pertahanan negara
dan pelibatan TNI. Kevakuman ini akan membuka peluang ketidakjelasan
tataran kewenangan dan pertanggungjawaban kelompok-kelompok para
militer serta penggunanya.
Rekomendasi Perubahan:
A. UU No. 31 Tahun 1997 :
1. Peradilan Tata Usaha Militer seharusnya berubah sebagai berikut:
a. Penghapusan Bab V tentang Peradilan Tata Usaha Militer dengan
mengembalikan otoritas sengketa tata usaha militer menjadi
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Mengubah nama UU itu menjadi Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Militer.
2. Hukum Acara Pidana Militer seharusnya berubah sebagai berikut:
a. Perlu pengaturan tentang fungsi-fungsi pejabat penyelidik, penyidik,
penuntut, hakim serta pelaksana putusan yang merujuk pada aturan-
aturan umum dan berlaku di dunia peradilan. Fungsi fungsi jabatan
tersebut tidak mempertimbangkan tingkat kepangkatan.
b. Lingkungan peradilan militer hanya mengenal peradilan pada tingkat
pertama dan banding. Tingkat kasasi menjadi otoritas Mahkamah
Agung, tanpa membentuk fungsi Mahkamah Agung di peradilan pidana
militer secara khusus.
c. Tingkatan peradilan militer berlaku secara umum tanpa melihat tingkat
kepangkatan. Hal ini sesuai dengan peradilan umum.
d. Penghapusan Pengadilan Militer Pertempuran dan mewajibkan
komandan satuan untuk mengambil tindakan sementara yang
diperlukan terhadap prajurit yang diduga melakukan pelanggaran tindak
pidana dalam pertempuran, misalnya; penahanan sementara,
mengamankan bukti, dan lain lain.
e. Peradilan militer hanya memiliki yurisdiksi pada tindak pidana yang
diatur dalam KUHP Militer.
f. Peradilan militer tidak memiliki kewenangan terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh non-militer kecuali yang secara langsung dilibatkan
dalam tugas tugas ketentaraan.
g. Peradilan militer harus membuka peluang mekanisme habeas corpus.
h. Pengaturan mekanisme transisi terhadap kasus-kasus tindak pidana
yang sedang dituntut di depan pengadilan militer.

B. Amandemen KUHAP :
1. Memperluas unsur aparat penyelidik dan penyidik tindak pidana umum
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh polisi dan TNI dengan unsur
unsur yang berasal dari luar kedua institusi tersebut.
2. Pejabat Papera dan Ankum tidak memiliki otoritas menentukan apakah
seorang prajurit TNI akan disidik dan dituntut di peradilan umum.
3. Hukum acara penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dijadikan ketentuan khusus di
dalam KUHAP.


5




4. Menghapus Bab IX pasal 89-94 tentang koneksitas.
5. Dalam hal terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI
memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan
KUHPM, maka hanya peradilan umum yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan.

C. Pengembangan Kapasitas Peradilan:
Pengembangan kapasitas perangkat peradilan umum khususnya yang berkaitan
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh unsur TNI dan Polri sendiri.

D. Hukum materiil :
Mengamandemen KUHP dengan memasukkan kejahatan luar biasa (extra-
ordinary crime)3, termasuk didalamnya kekhususan mekanisme penyelidikan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.

E. Perubahan atas UU Disiplin Militer :
Perlu ada perubahan terhadap UU No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit ABRI, khususnya pengaturan tentang jenis-jenis tindakan pelanggaran
disiplin militer.








nb: 1 Ketentuan pidana bagi TNI yang di-BKO kan menjadi Polisi dan polisi yang di-BKO kan untuk tugas
tugas militer (Brimob) harus diatur dalam UU tersendiri.

2 Komando, kendali, komunikasi dan intelijen
3 Pasal yang menjelaskan hal ini dimaksudkan juga untuk mencegah penggunaan kekerasan
yang berlebihan (excessive use of force).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar