Jumat, 15 April 2011

ULAT BULU & POLITIK

Amier Lee 14 April jam 22:45 Balas Laporkan
Ada banyak cara untuk muhasabah, ada banyak cara untuk belajar dan mengambil hikmah. Dalam konteks kehidupan , sebagai individu atau sebagai suatu bangsa, sering kali Sang Pencipta mengirim ujian, rintangan atau bahkan bencana. Agar kita membacanya sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda alam) yang melecut untuk menata diri dan bangsa.

Dua pekan terakhir, fenomena ulat bulu mewabah disejumlah daerah. Sebagaimana dilansir berbagai media massa, serangan ulat bulu ini bermula dari Probolinggo Jawa Timur pada 28 Maret yang lalu. Dalam waktu yang relatif singkat, ulat bulu merebak tidak hanya di Jawa Timur, akan tetapi meluas hingga ke Semarang - Jawa Tengah, Buleleng – Bali, Garut, Sumedang, Bekasi dan beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Terakhir, ulat bulu bahkan merangsek hingga ke Ibu Kota Negara, Jakarta.

Meski tidak mati, namun tanaman yang diserang kondisinya kritis mengenaskan. Seluruh daun rontok dimakan ulat hingga merugikan, baik untuk fotosintesis yang mereproduksi oksigen, maupun ancaman gagal panen pada pohon yang menghasilkan buah seperti mangga. Menurut pandangan pakar dan pemerintah, salah satu sebab munculnya ulat bulu ini yaitu untuk mencari media metamorfosis menjadi kempompong sebagai bagian dari upaya mempertahankan kehidupannya.

Menjadi relevan membicarakan fenomena ulat bulu ini dengan konteks politik yang memang tak pernah sepi dari segala macam ikonisasi, mulai dari anak TK seperti kata mendiang Gusdur terhadap laku politik anggota DPR (tentu tidak semua demikian). Atau pasar untuk simplifikasi terhadap politik transaksi onal yang hampir-hampir menjadi budaya para politisi (sekali lagi, tidak semua demikian).

Entah skenario Allah SWT atau hanya kebetulan, awal munculnya ulat bulu di Probolinngo tersebut, persis bersamaan pembahasan pembangunan gedung baru DPR yang menelan anggaran negara sebesar Rp1,1,38.

Aksi penolakan yang membadai, baik dari LSM, Ormas, Mahasiswa, hingga organisasi sayap partai politik diacuhkan oleh pimpinan DPR. Putusan kelanjutan pembangunan DPR bahkan ditetapkan melalui rapat konsultasi pimpinan DPR yang bukan merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan di DPR. Bahwa sidang paripurna merupakan wadah yang seharusnya difungsikan untuk mengamil keputusan tersebut.

Maka sejumlah kecurigaan yang mencuat ke publik terkait adanya indikasi “proyekan” tak dapat ditepis. Betapa tidak, Partai Gerindra misalnya, yang secara institusi melalui fraksinya di DPR, menolak pembangunan tersebut. Namun apa lacur, salah seorang politisinya, Pius Lustrilanang dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR yang menjabat sebagai wakil ketua BURT, justru tidak satu suara dengan partainya.

Aksi pasang badan hingga statemen apologetik menampakkan, betapa imun nurani sebagian anggota DPR, telah pecah dan keropos. Salah satunya, komentar Marzuki Alie, Ketua DPR yang mereduksi krtisisme dan peran rakyat. Simaklah keangkuhan politisi Demokrat ini, yang berulang kali menyayat hari rakyat dengan komentar tajamnya.

“Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu. Rakyat biasa dari hari ke hari yang penting perutnya terisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak urus yang begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara.” (Kompas, 4/4/)

Atau komentar sinis Nudirman Munir, wakil ketua “Badan Kehormatan DPR” yang juga politisi Golkar, ”Kita jangan aneh-aneh membandingkan dengan rakyat yang susah. Itu jelas berbeda. Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan, kita harus realistis."

Sementara penolakan Fraksi PAN dan Partai Gerindra tak diindahkan, aksi walk out PDIP dalam rapat paripurna akibat ditolak permintaannya untuk membahas kembali rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut, juga dibiarkan bagai angin lalu. Terlepas dari aksi akrobatik politik untuk pencitraan.

Namun, rakyat memang sudah mahfum dengan lakon politisi dan para pemimpin negeri. Karenanya, suara riuh dan harmoni yang senada selalu menyesakkan nurani saat bicara soal anggaran, plesiran, fasilitas tambahan, kenaikan gaji atau term-term profan lainnya. Apatisme terhadap politik, pun menjulang.

Data terhadap semakin menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu, dengan sangat kuat mengindikasikan tesis tersebut. Hal itu terlihat dari survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) sepanjang 2010. Kecenderungan menurun terlihat pada (pemilih) Partai Demokrat. Jika pemilu diadakan sekarang, Demokrat mendapat suara terbanyak 21,4 persen. Padahal pada bulan Februari 2010 elektabilitas Demokrat mencapai 32 persen. Demikian lansir Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi (6/1/2011).

Walau tidak memiliki kausalitas secara empirik, setidaknya nalar nurani –khususnya para pemimpin- bangsa ini, bisa merefleksikan dirinya dari serangan musibah dan atau bencana ulat bulu yang bisa saja menghampiri kantor-kantor pemerintahan di Jakarta.

Demokrasi yang sedang dibangun, jangan sampai digerogoti dengan pragmatisme dan lupa darat. Atau seperti ungkapan lain, “kacang lupa pada kulitnya”. Katanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, namun lupa pada yang diwakili.

Persis seperti ulat bulu yang jika tidak dicegah, maka mengurangi produktifitas tanaman dalam proses fotosintesis yang berakibat bagi kehidupan. Termasuk juga ancaman gagal panen terhadap tanaman yang diserangnya. Kini demokrasi sedang bersemi, semangat berdemorkasi tumbuh membenih. Kita berlindung dari laku politisi yang menggerogoti hingga menyebabkan demokrasi tak lagi mampu menghasilkan oksigen untuk kelanjutan kehidupan bangsa ini.

Karena itu Allah SWT. dalam beberapa firmanNya juga mendorong manusia untuk melakukan ibadah tafakur. Al Qur’an sering kali mengulang-ulang perintah untuk berfikir. Sebagaimana yang terdapat di dalam surat Al An’am (binatang ternak) ayat 50

أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ

Maka Apakah kamu tidak merenung? (Al An’am:50).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar